oleh AMINUDIN TH SIREGAR
Suatu pagi mullah Nasreddin sedang berjalan-jalan di pasar ketika ia melihat orang-orang berkerumun dengan gairah mengelilingi seorang pedagang yang sedang menawarkan seekor burung. “Sepuluh Dinar”, “Dua Puluh dinar”, ”Lima Puluh”. Orang-orang itu bersahutan. Dengan keheranan sang mullah ikut mengerubung. Akhirnya ia tahu bahwa hari itu sebangsa unggas mempunyai pasaran yang baik. Buru-buru dia pulang dan kembali dengan seekor kalkun yang gemuk untuk dijual. Orang-orang memang mengerumuninya, tetapi tawaran tidak ada yang lebih dari lima dinar. Walhasil, ia berontak: “Unggas sebesar ini hanya lima dinar, uhhh!”. Seorang yang berkerumun menyahut cepat, ”Iya, karena itulah harganya.” Mullah memprotes, ”Tetapi kalian baru saja membeli unggas dengan limapuluh dinar.” Mullah pun terdiam. Tetapi sebentar kemudian dia angkat bicara, sambil menunjuk pada unggasnya yang tenang dengan bulu-bulu yang halus dan mata mebelalak, “Betul. Unggas saya memang bukan sebangsa tukang ngomong. Dia pemikir.” Dan sang mullah pun menyelonong pergi.
Sejumlah karya cukilan kayu Juhari Said yang ditampilkan dalam pameran bertajuk HEWAN di Galeri Soemardja – ITB, Bandung, memperlihatkan bagaimana ketekunannya dalam mengeksplorasi aneka imaji hewan, antara lain: ayam, ular, katak, anjing, belalang, dan orangutan. Hewan-hewan itu digambarkan dengan cara yang tidak biasa – kalau tidak bisa dikatakan istimewa. Di situ, Juhari memperlakukan mereka layaknya ia sedang menggambar potret manusia. Selebihnya, ruang galeri menjadi ruang kehormatan bagi hewan-hewan itu saat ditonton oleh khalayak banyak. Sementara orang pun menikmati kesederhanaan simbolis karya Juhari tanpa perlu mengernyitkan dahi. Bagi para pegrafis, irama mata pisau yang mencungkil kayu hadir dengan tingkat kelenturan yang prima. Juhari seakan tidak mengalami kesulitan berhadapan dengan bidang kayu besar.
Di bidang kanvas berukuran besar, cetakan postur hewan-hewan itu hadir dengan sangat mencolok, sehingga seakan-akan mereka tampil bukan sekedar untuk memenuhi hasil studi seniman atas bentuk belaka, melainkan disorongkan lebih jauh untuk menawarkan sebuah makna khusus yang sengaja direncanakan oleh seniman. Hal lain yang tak kalah menarik untuk dialami ketika melihat karya-karya itu adalah, bagaimana gambar-gambar hewan di situ berhasil mengajak kita masuk ke dalam suasana kampung yang asri sekaligus menyimpan misteri. Pengalaman itu muncul dengan perasaan romantik dan nostalgik, tanpa bermaksud meromantisir kita ke suasana haru-biru berlebihan. Hewan-hewan itu muncul di hadapan kita dengan dimensi kebinatangannya.
Dengan cermat, Juhari menimba gagasan artistiknya dari pengalaman sehari-hari yang ia jumpai di sekitar padepokannya. Ia pun kemudian membangun narasi sembari melibatkan dirinya hampir secara total dengan peristiwa yang menimpa hewan-hewan peliharaannya. Semua dinamika pengalaman itu bisa menjadi kisah tersendiri yang menarik dan membantu menjelaskan latar belakang proses kreatifnya. Rumah di tengah hutan dikitari pepohonan merupakan sumber inspirasi yang tak pernah kering. Karena itu, Juhari mensyukuri keputusannya untuk menetap di pelosok hutan yang alami. Lingkungan itu, bagaimanapun, kini telah menjadi bagian dari ruang kosmologinya.
Sebagaimana terasakan ketika menyaksikan karya-karyanya, Juhari tampaknya bergerak lebih jauh dengan menempatkan hewan-hewan itu ke dalam dunia simbolik seraya menawarkan makna khusus dengan melakukan interelasi peribahasa Melayu yang terkenal kaya dengan alegori. Kita kemudian bisa merasakan bagaimana hewan-hewan dalam multi gestur di situ merupakan opini Juhari terhadap permasalahan dunia di sekelilingnya menyangkut pergeseran adat, budaya, perilaku sosial di tengah situasi global yang berubah begitu cepat.
Budaya, kata Kuntowijoyo, adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistemologi juga tidak bisa dipisahkan dari sistem sosial, organisasi kenegaraan, dan seluruh perilaku sosial. Demikian juga budaya material yang berupa bangunan, peralatan, dan persenjataan tidak dapat dilepaskan dari seluruh konfigurasi budaya. Sementara Juhari sendiri menyadari bahwa sistem budaya memiliki kompleksitas yang tidak mudah dipahami. Ia terus menerobos tegangan ini dan menempatkan dirinya sebagai pengamat budaya dengan terus menerus melakukan investigasi dan identifikasi mekanisme apa yang bisa mengintegrasikan berbagai macam gejala budaya ke dalam sebuah sistem yang koheren.
Sukar untuk disangkal, Katak Hendak Menjadi Lembu (1997-2000) adalah karya paling terkemuka dalam serial hewan. Seekor katak, dengan tubuh bermotif polka dot lembu Australia, digambarkan sedang melompat. Latar hitam putih membagi bidang kanvas secara diagonal. Pembagian ini mengesankan keseimbangan dalam formalisme. Tetapi, itu juga mencerminkan dua dunia yang penting dalam peristiwa lompatnya sang katak. Dari titik ini kita bisa menengarai sang katak melompat dari “dunia hitam” ke “dunia putih”. Adapun lompatan itu sendiri bisa dimaknai sebagai sebuah transisi. Setiap orang, setiap harinya, memiliki pengalaman transisional. Ini sepertihalnya peristiwa hijrah dalam sejarah Islam.
Menggunakan kaidah peribahasa Melayu populer, dalam karya cukilan kayu ini Juhari menyentil tingkah laku manusia yang khilaf dalam menjalani kehidupan di tengah arus besar perubahan global, terutama mereka yang tidak mampu mengukur kapasitas yang dimiliki. Karya ini merepresentasikan kehendak muluk, kalau tidak bisa dibilang ambisi anak manusia atas sesuatu di luar dirinya atau bahkan ambisi untuk melampaui (takdir) dirinya. Dengan karya ini, begitupula pada karya-karyanya yang lain, Juhari melancarkan kritiknya dengan cara halus, menyentuh bawah sadar kita, tanpa bermaksud menggurui.
Dalam karyanya Lain Padang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya (1997), Juhari mengingatkan kembali membaca perbedaan antar budaya melalui apa yang disebut dengan “konteks”. Sebab budaya sangat terikat konteks manusia dan lingkungan alam. Sepertihalnya Katak Hendak Menjadi Lembu, karya yang menghadirkan pose belalang hijau ini lebih jauh memancing renungan tentang implikasi sosial akibat modernitas kebudayaan. Orang sering menuduh bahwa modernisasi mendorong terciptanya erosi terhadap nilai-nilai budaya tradisional. Akan tetapi di sisi lain, modernisasi juga menciptakan retradisionalisasi. Ini dibuktikan sendiri oleh Juhari secara kreatif melalui karya-karyanya. Karya Lain Padang Lain Belalang ini juga menawarkan pemahaman tentang disparitas budaya, yaitu jarak antara desa-kota, antar kelas sosial, dan sebagainya.
Sejak awal 1980-an, Juhari Said sudah memulai kiprahnya sebagai pegrafis. Ia menciptakan lukisan, patung hingga proyek seni bersifat site-spesific dengan melibatkan khayalak. Ia juga berminat pada kritisisme, kajian sejarah, budaya, maupun kebijakan lokal. Ia juga seorang yang menyukai pengembaraan – layaknya “musafir kebudayaan” yang bertandang dari satu tempat ke tempat lain mencari ilmu. Tampaknya ia memerlukan pengembaraan asketik ini guna membuka horison pemikirannya lebih luas dan terutama untuk memahami misteri dunia. Dan nilai yang tak kalah penting yang ia petik dari situ adalah untuk memperkaya pengalaman batinnya. Dengan bekal itu, karya-karya Juhari memiliki karakteristik berbeda. Karena itu ia sangat khas bila dibandingkan dengan generasi seniman seangkatannya di Malaysia. Sejumlah pengamat seni menempatkannya sebagai seniman yang berhasil mengolah dan menyegarkan kembali kesusasteraan tradisi sebagai sumber proses kreatifnya. Proses kreatif semacam ini memang belum banyak dilakukan seniman Malaysia lainnya.
Dengan mendalami kesusasteraan tradisi, pemikiran Juhari berpantulan dari ranah domestik hingga ke hal yang bersifat universal. Ia mengeksplorasi nilai lokal tak semata menjawab kegelisahannya akan identitas budaya, tetapi juga mencari jawaban atas kontradiksi sejarah yang kepalang terbentuk. Ia ingin senantiasa mengambil posisi sebagai orang yang meragukan apakah sejarah yang telah diterima adalah satu-satunya yang mutlak diyakini benar?
Di lain pihak, Juhari suka merenungkan arti, fungsi dan peran sebagai seorang seniman sebagai kaum intelektual bagi pembentukan sistem pengetahuan masyarakat. Sebagai seorang intelektual, Juhari sempat mengatakan bahwa seniman bukanlah sosok yang hanya bekerja di studio tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya. Peran dan tugas seniman mestinya tidak dikotakkan hanya sebagai pencipta karya semata. Seniman bisa bekerja mengakselerasi kemajuan budaya dengan caranya yang unik. Seniman juga berpotensi menciptakan interaksi antara komponen-komponen budaya guna menghasilkan simbol baru tanpa menghilangkan dasar-dasar ekologinya. Dan yang tak kalah penting, seniman bisa mengamati gejala-gejala yang timbul sebagai akibat dari transformasi sosial, ekonomi, dan budaya dari kekuatan pasar. Ia bisa merenungkan hal-hal itu dalam karyanya untuk digali oleh orang lain.
Kini, di padepokannya yang rimbun, puluhan kilometer dari Kuala Lumpur, Juhari menempuh hidup layaknya seorang “seniman subsisten”. Ini merupakan anomali dalam menjalani kehidupan di era global, kendati tidak mustahil dipilih seniman.
Aminudin TH Siregar
Kepala Galeri Soemardja
Buku Bacaan:
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat – Edisi Paripurna, (Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2006), terutama hal. xi – xii, 39-40, dan 151.
(Dipetik dari katalog pameran solo Juhari Said,Hewan,November 2013,Galeri Soemardja,Institut Teknologi Bandung,Indonesia.)
Comments