oleh A.D PIROUS
(elan persahabatan yang panjang, antara seniman Indonesia dengan seniman Malaysia)
Ketika Juhari Said menelpon saya untuk suka menulis sebuah sambutan untuk pameran seni grafis tunggalnya di Galeri Soemardja ITB Bandung, saya merasa akrab dan senang. Pameran Juhari itu dilaksanakan bulan Nopember 2013. Beberapa saat setelah menerima permintaan itu, saya tersentak; kenangan saya menerawang kembali kedalam lorong waktu panjang, selama lebih dari empat puluh tahun perjalanan persahabatan saya dengan para sahabat seniman dari negeri sejiran, Malaysia. Banyak seniman Malaysia yang telah hadir dalam rantau persahabatan saya, baik secara pribadi maupun sebagai perwakilan kelompok seniman Bandung dan Indonesia. Beberapa kilas balik tali persahabatan yang telah terajut, terentang dalam kurun waktu sekitar 40 tahun.
Bertemu 1, (Latiff Mohidin).
Awal tumbuh persahabatan ini dapat dicatat melalui pergaulan singkat dengan Latiff, seorang pelukis dan penggrafis Malaysia yang sedang bermukim di kota New York. Dia sedang belajar seni grafis di Pratt Printmaking Studio ,Manhattan pada tahun 1970. Sedangkan saya sendiri sedang belajar Graphic Design dan Printmaking di RIT, Rochester New York, dengan grand dari John D. Rockefeller the 3rd, setiap 3 bulan sekali kami datang berwisata-kerja ke kota New York bersama teman studi saya sdr. Yusuf Affendy. Pada winter 1970 kami bertemu dengan Latiff di New york, rupanya Latiff Mohidin mendapatkan beasiswa yang sama dari John D. Rockefeller the 3rd,
Bersama dengan Latiff lah dapat saya meluaskan pengalaman berkelana di kota New York; yang tidak hanya disibuki dengan melihat hampir semua galeri dan museum, tapi juga menyusup ke berbagai studio kreatif dari para seniman Asia yang sedang belajar di New York. Latiff mempunyai pergaulan luas dengan seniman-seniman Asia di New York. Latiff mengajak untuk menyaksikan kegiatan studio seni grafis di Pratt Institute, yang masih penuh dengan seniman grafis muda berbagai bangsa, walaupun masa kami berkunjung pada malam hampir dini hari, saat alam udara winter Desember yang beku. Menarik sekali menyaksikan kesempatan kerja antar seniman yang diatur oleh giliran waktu, secara ketat; tiada waktu yang luang, dan tiada mesin cetak yang nganggur. Kesan saya keuletan Latiff untuk meniti karir keseniannya, selama di New York, sangat tangguh. Dia harus menyelinap untuk mendapatkan kesempatan diantara pesaing-pesaing yang ada.
Pertemuan singkat di Manhattan itu menyadarkan saya bahwa Latiff bukan hanya seorang senirupawan, tapi juga seorang penyair muda berbakat yang sedang tumbuh. Pada mulanya saya hanya menganggap enteng, saat dia membacakan beberapa sajaknya, malah sempat menyarankan agar sebaiknya konsentrasi berseni-rupa saja. Latif hanya tersenyum bangga, karena telah berhasil memperdayakan saya, sebab sebenarnya Latiff adalah seorang yang akan lahir sebagai nabi penyair di Malaysia. Pada masa itu Latiff sedang mengolah tema Pago-Pago dalam karir melukisnya.
Kenangan indah lain dari Latiff , ia juga seorang juru masak yang ulung. Dia suka membuat gulai-kari yang nikmat, kalau kami sedang berkumpul di apartement dikala kami berkunjung ke New York. Keahlian memasaknya itu, yang menyadarkan saya untuk belajar yang sama, agar kita dapat mengatasi kebutuhan kita sendiri.
Suatu waktu ketika kami akan meneruskan perjalanan dari New York ke Washington dengan kereta api, Latiff telah sangat berjasa menghibur dan membantu kami, meninggalkan apartment dari 72nd street menuju 42nd steet, ke Grand Central Terminal. Pada pagi itu sedang terjadi “strike”, semua sopir taxi di New York, mogok. Dalam kebingungan, Latiff menemani kami berjalan kaki sejauh hampir 3 mil; sedangkan jalan penuh salju, dingin dan beku. Latiff telah ikut mengangkat yang kadang-kadang memanggul koper sambil bernyanyi dan berceloteh, sehingga membuat perjalanan itu semacam sematan indah dari sebuah persahabatan lama setelah itu. Setelah kembali dari New York, tiba-tiba Latiff singgah ke rumah saya di Bandung, tahun 1973, lalu sejak itu, dia lama menghilang; namun ikatan dengan Latiff tak pernah putus.
Pada suatu siang di akhir tahun 2007, saya mendapat telpon dari Latiff, bahwa dia berada di Bandung di suatu pusat perbelanjaan, ingin bertemu . Saat kami berjumpa, dengan tersenyum dia menghadiahi saya dua buah buku indah hasil karyanya. Yang pertama Voyage-Kembara, sebuah dokumen perjalanan karir berkesenian, pengembaraannya di dunia seni-rupa. Buku lainnya, adalah tentang kepiawaiannya sebagai seorang sastrawan, “Puisi-puisi Rumi, Rubaiyat Khayyam”. Latiff telah menerjemahkan secara cermat dan syahdu, puisi-puisi sufistik Rumi dan Khayyam yang berkisah tentang cinta. Bagi saya buku ini sebagai saksi kepenyairan yang ulung dari Latiff.
Bertemu 2, (Sharifah Fatimah Syed Zubir)
Pada tahun 1973 Sharifah selaku wakil pimpinan Balai Seni Lukis Negara Malaysia, berkunjung ke Bandung, dalam rangka tugas mengoleksi beberapa karya seni rupa moderen yang bernafaskan Islam dari para seniman Indonesia. Inilah mula pertama perkenalan dengan Sharifah, yang juga seorang pelukis wanita Malaysia yang penuh bakat. Pada masa-masa kemudian, Sharifah jadi seorang diantara mitra seniwati Malaysia yang telah menjalin hubungan semakin akrab antara Malaysia-Indonesia. Dia tak pernah bosan atau jeda dari berkunjung ke Bandung, setia mempererat silaturahmi; terutama dengan pelukis wanita Indonesia. Sharifah memberikan kesan, untuk menjadi seorang seniman, bakat dan kesungguhan kerja harus didampingi dengan kecerdasan. Tanda mata pergaulan sering diungkapkan melalui kenangan sebuah buku.
Bertemu 3, (Syed Ahmad Jamal)
Pada pameran seni rupa The First of Asian Arts Exhibition, di Manama, Bahrain, tahun 1981, telah juga mempererat hubungan antara pelukis Syed Ahmad Jamal, Ibrahim Hussein, Ahmad Khalid Yusoff dan Wairah Marzuki dengan pelukis Indonesia, A.D.Pirous, Srihadi S, dan H. Widayat serta pelukis Asia lainnya. Kami menikmati suasana berpameran lukisan di Manama, yang diselenggarakan di sebuah hotel mewah sebagai sebuah pesta berkepanjangan selama seminggu. Setiap malam ada jamuan makan bangquette diruang pameran. Pada setiap waktu luang, selama seminggu telah berkunjung ke berbagai objek budaya peninggalan Islam, dan berdiskusi. Suasana ini membuat kami lebih akrab dan merasakan sebagai sebuah pengalaman baru, bagaimana berpameran seni di Timur Tengah.
Ketika menghadiri kegiatan The Third Asean Exhbition of Painting and Photography di Manila pada tahun 1984, kami bertemu lagi. Saat itu saya mengetahui Syed Ahmad Jamal dan kawan-kawan seniman Malaysia lainnya sedang sibuk membina wujud Balai Seni Lukis Negara di Kuala Lumpur. Balai Seni Lukis Negara diresmikan pada bulan Mei 1984, oleh Dr. Mahathir Mohamad, bertempat di sebuah bekas hotel tua Majestic sebelum direncanakan pindah ke gedung baru di jalan Tun Razak pada tahun 1998. Saya sangat tertarik menyaksikan keteguhan hati para seniman Malaysia menyambut peresmian Balai Seni Lukis Negara ini, karena di Jakarta belum ada upaya pada masa itu, untuk memulai sebuah kegiatan, baru berupa wacana, yang masih sangat jauh dari wujud Galeri Nasional secara nyata.
Bertemu 4, (Long Thien Shih dan kawan-kawan)
Penggrafis Malaysia, Long Thien Shieh, yang bersama-sama sedang mengikuti Printmaking Workshop, disponsori oleh Fukuoka Art Museum, di Fukuoka pada tahun 1989, menceritakan kegiatan Asian International Art Exhibition yang ke IV (AIAE ke-IV) sedang berjalan di Seoul, Korea Selatan. AIAE ke-IV ini, merupakan kegiatan organisasi berkesenian swasta di seantero negara di Asia Pasifik. Dia menawarkan, apakah Indonesia ingin bergabung dengan kegiatan seni rupa yang melibatkan para seni rupawan dirantau Asia Pasifik dan Asia Tenggara ini, sebab sampai saat itu, Indonesia belum menjadi anggota. Mengatas namakan Indonesia melalui seniman-seniman di Bandung, saya menerima undangan ini.
Pada tahun 1990, seniman-seniman Indonesia resmi bergabung dengan mengikuti pameran AIAE ke-V di Kuala Lumpur.
Persahabatan antara seniman Malaysia dengan seniman Indonesia secara berkelompok, baru dimulai saat ini. Mulai terjalin pergaulan akrab para seniman diantaranya Awang Damit Ahmad, Ismail Latiff, Khalil Ibrahim, Joseph Tan, Ahmad Khalid Yusuff, Ponirin Amin, Bahaman Hashim, Lye Yau Fatt, Ilse Noor, Sulaiman Esa, Yusoff Ghani, Khoo Sui Ho, Choong Kam Kow dan Juhari Said.
Langkah berikutnya terlaksanalah sebuah pameran bersama antara Indonesia dengan Malaysia di Bandung, pada tahun 1991. Judul pameran ini sangat bertuah, Muhibah Seni Rupa ‘91, Bandung-Kuala Lumpur. Menyambut pameran ini, Dato’ Sabbaruddin Chik, selaku Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan Malaysia, menuliskan diantara kata sambutannya sebagai berikut :
“ Usaha kearah memperkembangkan kebudayaan, kesenian dan kesadaran terhadap nilai-nilai estetika dirantau ini, semestinya dipupuk, dipelihara, dikaji dan dikembangkan bagi dimanfaatkan faedah dan dihayati oleh semua lapisan masyarakat, saya percaya dan penuh yakin, pameran muhibah ini sangat besar artinya dalam mempererat hubungan persahabatan antara pelukis Indonesia dan Malaysia bagi kemajuan bidang ini. ”
Sementara ini , Prof. Dr. Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, menegaskan dalam sambutan pengantarnya sebagai berikut :
“ Saya menyambut gembira prakarsa penyelenggaraan pameran lukisan dan grafis karya seniman Indonesia dan Malaysia yang diadakan di kota Bandung. Prakarsa kerja sama seperti ini sudah tentu akan memberikan banyak manfaat bukan saja kepada seniman, tetapi juga kepada fihak-fihak lain yang terkait dalam kegiatan ini, baik dari fihak Indonesia sendiri maupun dari fihak Malaysia. “
Setelah pameran ini, semakin acap kegiatan yang menghadirkan seniman Malaysia di Indonesia ataupun di Malaysia, seperti pameran seni rupa Islam di Festival Istiqlal I dan II ( 1991 dan 1995 ) di Jakarta dan pameran Contemporary Islamic Art from Indonesia di National Art Gallery, Kuala Lumpur, tahun 1994.
Bertemu 5, (Ibrahim Hussein)
Pada tahun 2003, ketika A.D.Pirous diundang berpameran tunggal di Balai Seni Lukis Negara, Kuala Lumpur, pada masa luang saya dan isteri melakukan kunjungan pribadi ke Museum Ibrahim Hussein di Langkawi. Saya menyenangi karya Ibrahim yang banyak menyinggung tema kemanusiaan, yang tidak selalu indah dilihat, tapi membuat kita merenung dan tercekam. Tekniknya bebas, antara melukis dan mempergunakan kolase. Kepergian kesana ditemani oleh pelukis Sharifah Fatimah, dan di airport Langkawi dijemput khusus oleh Ibrahim; lalu dibawa pesiar, berkendaraan menyusur bukit yang hijau, lengang namun indah. Malam itu Ibrahim Hussein mengundang bersantap di sebuah resto seafood sederhana, tapi dengan hidangan ikan yang segar dan sukar dilupakan untuk waktu yang lama.
Museum Ibrahim dengan arsitektur yang anggun dan dengan koleksi karya yang membuktikan dia seorang pelukis yang hebat, mengingatkan kembali saya pada persinggahan yang terdahulu, beberapa tahun sebelumnya di rumahnya di Kuala Lumpur. Dalam percakapan akrab saat itu, saya menyatakan bahwa dia seorang pelukis Malaysia yang sangat andal. Tapi dia menepisnya, malah mengatakan bahwa dia lebih ingin disebut jadi seorang pelukis dunia yang berasal dari Malaysia. Ketika saya cecar dengan pertanyaan mengapa dia dapat menjadi begitu sukses dan berjaya?. Secara bergurau dia berkelit “Yah, karena saya pelukis Malaysia yang leluhurnya berketurunan Aceh“. Saya pun tergelak, karena dia sedang mengingatkan saya kembali pada asal akar keturunan kami yang sama; sayapun pelukis Indonesia yang berakar keturunan Aceh. Percakapan ini mengiang kembali di telinga saya, ketika sedang duduk berjuntai di pelataran-kayu yang menganjung ke laut, bagian depan dari rumah Ibrahim, dekat museumnya, yang terletak di lereng bukit menghadap ke laut dan membelakangi hutan tropis yang membuatnya seperti terpencil, dan damai. Ibrahim Hussein mengetahui apa yang dia inginkan dan telah dapat mewujudkan apa yang ia impikan. Dalam pertemuan itu, dia pernah mengusulkan satu program kerjasama karya instalasi antara seniman Indonesia dan Malaysia dengan bertempat di museumnya di Lengkawi. Tetapi sayang, gagasan itu tidak sempat terwujud.
Bertemu 6, (beberapa kegiatan pameran).
Pada akhir tahun 80-an, pelukis Malaysia Khoo Sui Ho mendapat undangan dari Alliance Française, Bandung, untuk memamerkan karyanya di ruang pameran mereka. Sui Ho menampilkan karya-karyanya yang menarik, memperlihatkan kesederhanaan bentuk, cerah dan puitis; melalui tema manusia dan alam. Perkenalan saya mula pertama dengan Sui Ho ketika berkunjung ke Melaka. Disana dia menggiring saya ke kota tua A.Famosa. Di lokasi itu masih dapat dilihat banyak papan batu bekas tutup kuburan dari masa sekitar empat abad yang lalu yang penuh dengan pahatan huruf, nama para mayat yang dikuburkan; juga diselingi oleh inskripsi epitaph yang mengingatkan kita pada renungan kehidupan ini dan sejarah.
Sui Ho mencoba banyak bercerita tentang sejarah yang ada di belakang benteng-tua, yang dulunya dibangun oleh Portugis, kemudian diperbaiki oleh Belanda setelah rusak oleh penyerbuan Belanda. Tapak sejarah ini sangat berkesan, apalagi bila berdiri di ketinggian diantara puing-puing kuno yang penuh inskripsi itu, sambil melemparkan pandangan ke laut lepas yang pandangan mata berhenti di kaki langit. Ini adalah arena lintasan pertempuran berbagai bangsa dalam sejarah silam Melayu di Selat Malaka. Untuk peresmian pameran Khoo Sui Ho, telah meminta saya membukanya. Dengan senang hati tugas ini saya terima, demi hubungan persahabatan dengan mitra di Malaysia. Boleh dikatakan, barangkali pameran ini sebagai awal masyarakat Bandung menyaksikan karya seni rupa moderen salah satu seniman Malaysia.
Pada tahun 1997, terjadi kasus yang lain, yaitu Rockefeller Foundation merencanakan untuk menyelenggarakan pameran Seni Rupa, berjudul Modernities & Memoirs, Recent works from the Islamic World, di La Biennale di Venezia ke 47, tahun 1997. Program ini telah dibantu kerjasamanya oleh Dewan Kesenian Jakarta. Dari fihak Indonesia saya telah ikut terlibat sebagai kurator, diantara para kurator dari negara peserta lainnya. Tugas saya menemukan calon dari Indonesia dan Malaysia. Dalam pencarian inilah saya bertemu dengan Zulkifli Yusoff, seniman instalasi yang sangat berbakat dari Malaysia. Dalam masa penjajakan, saya telah berkunjung ke rumah/studionya di Kuala Lumpur, berbincang dan mengarahkan karya sesuai tema. Karya Zulkifli yang terpilih adalah karya instalasi yang berjudul; Dialog Series II, 1996, yang lebih dikenal dengan julukan Don’t play during magrib.Pesan dari karya ini, diangkat dari dialog sehari-hari dalam masyarakat moderen Malaysia yang mulai syarat dengan berbagai konflik bathin, digambarkan dengan ungkapan metaforik, teks tulisan yang kadang-kadang menggelikan. Karya ini salah satu yang paling menarik dari Asia Tenggara. Sejak itu persahabatan dengan Zulkifli terus berjalan, mengalir. Karya-karya menarik lainnya dari peserta pameran ini, dari Indonesia adalah, Monument of Paper, 1996, karya instalasi dari Setiawan Sabana dan Inner Mother, 1996, karya instalasi patung gerabah dari Hendra Riyanto, dan 6 buah karya patung kayu dari Anusapati. Keempat seniman Indonesia dan Malaysia ini telah mengemukakan problematik yang bernuansa sama tentang kehidupan di masyarakat yang mayoritas penduduknya berkeyakinan Islam. Pada saat mengkurasi pameran ini saya merasa seperti kurator yang sedang berfikir menghadapi persoalan seni di AsiaTenggara, kepentingannya sama, karena rumpun yang tidak begitu berbeda.
Pada tahun 2003 ketika merayakan kegiatan Organisation of Islamic Countries Summit yang sedang dilaksanakan Malaysia, di Kuala Lumpur. Board of Trustees dari Balai Seni Lukis Negara telah mengundang pelukis A.D.Pirous untuk berpameran tunggal di Balai Seni Lukis Negara Kuala Lumpur. Menurut Tan Sri Kamarul Arifin, ketua dari Board of Trustees; pameran yang diberi judul Words of Faith ini, merupakan sebuah capaian lainnya bagi Balai Seni Lukis Negara untuk memamerkan karya pelukis senior dari Indonesia. Nilai lain dari pameran ini disebutkan pula, sebagai karya sepanjang hayat Pirous, sebagai bukti intelektual dan kekuatan moral yang menyatu padukan rakyat dan masyarakat. ( lihat katalog. AD.Pirous, Words of Faith, Balai Seni Lukis Negara 2003 ).Bagi saya sendiri, pelaksanaan pameran ini sebagai sebuah rangkulan persahabatan yang saling percaya yang sudah terbenih lama antara seniman Malaysia dan Indonesia.
Pameran ini memperlihatkan satu segi wajah Seni Rupa bernafaskan Islam di Indonesia, yang juga hal yang sangat berimbang dengan apa yang sudah dan sedang terjadi sejak awal tahun 1970-an dalam gejolak Seni Rupa Nasional di Malaysia, dengan menyimak karya-karya pelukis , seperti : Syed Ahmad Jamal, Ahmad Khalid Yusoff, Zakaria Awang, Abdul Ghafar Ibrahim, Siti Zainon Ismail, Sharifah Fatimah Zubir dan Sulaiman Esa.
Dalam banyak hal kecenderungan Seni Rupa di sebuah negara, lebih ditentukan oleh para senimannya, secara kreatif, bukan oleh kebijakan politik negara. Oleh karena itulah pertemuan yang bebas dan proaktif oleh para senimannya sangat diperlukan sebagai jembatan kebudayaan yang membina pengertian antara dua negara.
Bertemu 7 (Juhari Said).
Bersua pertama dengan Juhari Said, pada tahun 1990, ketika pameran AIAE ke-V, yang dilaksanakan di Balai Seni Lukis Negara, Kuala Lumpur. Saya melihat seniman muda yang berusia 29 tahun, punya komitmen yang tinggi pada seni grafis. Melalui percakapan-percakapan, saya memahami bahwa Juhari, seorang yang bercita-cita menjadi seorang penggrafis saja. Ini sebuah sikap yang berani dan utuh. Hal ini tercermin, baik di Indonesia maupun di Malaysia, ketika umumnya kegiatan seorang penggrafis hanya sebagai pendukung saja bagi kegiatan melukis atau mematung. Sejak itu saya mulai melihat lebih cermat, setiap kegiatan Juhari. Hati saya semakin yakin, ketika kami sering bertemu di kegiatan AIAE di berbagai negara manapun pameran sedang berlangsung. Perkenalan yang makin akrabpun terjadi dengan seniman yang selalu aktif pada kegiatan AIAE itu, seperti Choong Kam Kow, Ismail Latiff, Long Thien Shih dan Awang Damit. Hati saya semakin tersemat kepada Juhari, ketika dia telah menghadiahkan kepada saya beberapa karya grafisnya yang disisihkan dari pekerjaan barunya sesuai dengan wawasannya yang terus berkembang. Baik tema dan tekniknya bergerak terus kearah penjelmaan diri sebagai seniman penggrafis Malaysia; yang lebih berorientasi sebagai seorang manusia Malaysia.
Suatu waktu di bulan Juni 2008, bersama Rahime Harun, kami berkunjung ke rumah/studio Juhari Said di Akaldiulu, yang sudah ditempatinya sejak 1999. Bagi saya kunjungan ke rumah/studio Juhari ini, sangat mengesankan disamping mulai merasakan secara khas kepribadian Juhari sebagai seorang seniman Malaysia yang bernilai ketokohan. Menyusur jalan setapak menuju rumah Juhari, yang dikitari oleh pepohonan pagar hijau yang cukup jauh, telah membangun kesan masuk ke suatu sanktuari seniman yang ingin hidup jauh dari ke hiruk- pikukan kota. Ketika sampai di pekarangan dalam, ditandai dengan adanya sebuah rumah kayu yang khas rumah pedesaan, dengan sosok alamiah tanpa banyak diganggu oleh warna cat kekotaan. Rumah Juhari sarat dengan lingkungan pepohonan, dikelilingi oleh macam-macam bebungaan, pisang, nangka, yang tinggi dan rimbun. Sangat menonjol banyaknya pohon sukun yang rampak berbuah lebat. Ketika memasuki rumahnya, terhirup udara beraroma kayu, yang nyaris mengingatkan rumah saya di desa di Aceh. Peralatannya sederhana, tapi fungsional. Kami duduk berbahas di serambi belakang yang terbuka dan berlantai kayu, dapat melepas pandang ke pekarangan belakang yang hijau dan teduh. Juhari bercerita dibatas belakang rumahnya ada sungai yang banyak ikannya. Menjelang siang kami disuguhi kolak sukun buatan sang isteri yang rasanya manis dan gurih. Kolak sukun ini, sebuah kenangan manis pula bagi kami.
Di halaman depan rumah, terdapat sebuah studio terbuka yang serbaguna. Dari meja besar tempat tumpuan kerja berbagai kegiatan grafis, sampai kealat perkakas lainnya diletakan dalam sebuah ruang kegiatan yang nyaman. Konon studio terbuka itupun tempat Juhari menawarkan kerjasama seniman lain yang diundang. Juhari sengaja memisahkan ruang kerja dengan rumah tinggalnya, agar dia bisa lebih berkonsentrasi tanpa terganggu rumah tangga. Juhari juga memelihara keakraban dengan kehidupan hewan-hewan peliharaan yang dapat hidup nyaman di pekarangannya. Ratusan ekor itik putih bebas berkeliaran; ayam dan mungkin juga ular dan berbagai serangga yang hidup berbarengan dalam lingkungan damai itu. Dengan demikian Juhari tetap merasakan keramaian kehidupan, tanpa perlu ditemani oleh orang banyak selain anggota keluarganya sendiri. Diapun bersahabat dengan seekor kodok yang senantiasa tidur didalam sepatunya yang disimpan di studio; berkali-kali Juhari mengusir, namun kodok tetap kembali, akhirnya Juhari berdamai dan bersahabat dengannya. Siapa tahu kedepan, akan ada karya baru Juhari tentang persahabatan yang berjudul, Bagai Katak dalam Sepatu.
Lingkungan kehidupan seperti ini, telah mengembalikan Juhari menjadi seorang manusia moderen yang sangat akrab dengan desa; dan kehidupan masyarakat Melayu. Sebagai yang sering dikeluhkan oleh para seniman, seperti Zulkifli Yusoff tentang situasi masyarakat Malaysia moderen yang kian terasing dari nilai luhur Melayu; yang semakin baur dengan nilai kota yang dinilai agak materialistik. Juharipun berada pada situasi yang sama, dia semakin arif menafsirkan arti kedalaman berfikir sebagai manusia Melayu yang masih erat berpegang pada tradisi dan nilai liris sastra Melayu.
Banyak ungkapan moderennya yang berpijak pada naluri tradisi yang kaya. Dia semakin bijak menembak sasarannya dalam berkarya, lewat judul satir dan kritik sopan fikiran Melayu dengan tajam. Karya-karya grafis Juhari yang kaya dengan paduan fikiran seperti ini, telah membuatnya berbeda dari seniman Malaysia lainnya. Kita dapat merasakan bagaimana Juhari telah berkelit dengan tikungan ungkapan Melayu yang kaya, dalam mengingatkan masyarakat, yang sedang ditantang ke arah moderen.
Karya grafis Juhari sering sekali judulnya diperkaya dengan peribahasa, ujar-ujar bijak, pantun, dan filosofi yang digali dari tradisi budaya Melayu. Selain itu, sering pula kata-kata dalam huruf Romawi dicukilkan sebagai sosok bentuk. Dari beberapa karyanya tahun sembilan puluhan, ditemukan judul bijak seperti Cakap siang pandang-pandang, cakap malam dengar-dengar ( 1997 ). Ini mengingatkan naluri etika berkomunikasi yang penuh kehati-hatian, awas dan timbang rasa. Agar mendapatkan hidup yang sukses, haruslah hemat, berupaya yang berketerusan tanpa lelah, seperti yang sering dimisalkan dalam kehidupan sehari-hari, sikit-sikit, lama-lama jadi bukit . Untuk mengingatkan sikap multi kulturalistik dalam masyarakat tradisional, diingatkan akan keberbedaan yang selalu ada, namun harus selalu saling menghargai. Hal ini digambarkan lewat judul karya, Lain Padang lain Belalang, lain Lubuk lain Ikannya (1997 ).Ungkapan-ungkapan liris selebihnya, yang dipesankan lewat bunyi judul seperti, Kuat lilit karena simpulnya ( 1999 ), atau Bagai gergaji bermata Dua ( 1997 ), Gunting dalam lipatan. Ini perumpamaan tentang selingkuh dan longgarnya laku penghianatan dalam masyarakat sekarang. Untuk menganjurkan sikap introspektif dalam memimpin, dia memilih ujar-ujar Bila telunjuk menuding, tiga jari menuding kearah kita ( 1997 ).
Ketika Juhari menggelar karya-karya grafisnya di Galeri Soemardja ITB, Bandung, pada November 2013, dengan judul pameran Hewan, karyanya yang memukau adalah seri Katak hendak menjadi Lembu ( 1997 ). Ungkapan peribahasa ini sangat kuat untuk mencemoohkan seseorang yang inginkan sesuatu ( kekuasaan ? ) yang tak mungkin dia punyai, karena kemampuannya yang terbatas dan tak memadai.
Untuk menggambarkan kebodohan dan keterbatasan wawasan, Juhari memakai ucapan yang sangat popular dalam masyarakat, seperti Seperti katak Puru dibawah tempurung ; walaupun kalimat bijak ini dapat pula berarti sebaliknya, yakni kritikan bagi seorang yang merasa mengetahui semuanya, padahal dia hanya mempunyai pengetahuan terbatas. Cara lain untuk memperlihatkan kebodohan seseorang. Jadi kekuatan karya-karya grafis Juhari terletak pula pada pemilihan judul yang sangat Melayu; yang kadang-kadang dapat bermakna multi-tafsir. Inilah pula kelenturan semiotik Melayu, yang dipergunakan Juhari.
Mengenai teknik produksi karya-karya Juhari, terlihat berbagai perkembangan yang menarik. Disamping cetakan hasil cukilan kayu, dia juga memperkaya dengan benda-benda lain yang bukan cetakan. Kebebasan mempergunakan berbagai bahan ini, mempermudah dia menambahkan ekspresi tertentu. Hal lain yang menarik adalah Juhari juga mempergunakan kanvas untuk dasar cetakan, pengganti kertas. Selain bidang gambar dapat menjadikan ukuran lebih besar, juga kemungkinan untuk sobek seperti kertas, dapat dihindarkan. Kanvas dapat mudah dipajang tanpa bingkai kayu dan kaca.
Bagaimanapun kualitas cukilan, torehan dan cetakan karyanya semakin canggih. Dalam beberapa karya seri kerbau menampakkan kematangan yang tinggi, dramatik hitam putihnya mengesankan. Pada cetakan-cetakan yang lain, Juhari juga memperkaya dengan sapuan warna cat air yang lembut dan efektif. Juhari sebagai seniman Malaysia yang sudah beranjak senior, semakin menarik menyimak ucapan katanya. Dia pernah mengatakan Apa yang kita ada, tidak penting, tetapi apa yang kita boleh buat dengan apa kita ada, adalah lebih penting. Naluri ini terlihat dari berbagai laku perbuatan dan benda-benda sederhana yang mengelilingi hidupnya; yang tertuang dalam sikapnya berkarya. Dia seorang pribadi sederhana yang pekerja keras yang sukar dilerai.
Ketika Juhari membuat sebuah workshop seni grafis mengiringi pamerannya di Galeri Soemardja, ITB, Bandung ( 2013 ), pernah menyampaikan keluhannya, bahwa mahasiswa para peserta workshop kurang memperlihatkan semangat yang menggebu seperti yang dia harapkan. Kesantaian peserta, telah mengecewakannya.
Karena Juhari adalah juga seorang yang berjiwa pendidik, dan suka, serta mudah berkomunikasi dengan siapapun, dia telah menyadari sekali peranannya sebagai seorang penerus dari hubungan persahabatan antara dunia kesenian Malaysia dengan Indonesia, yang telah pernah diretas sejak 40 tahun yang lalu.
Dia pernah mengatakan, akan terus memperluas serta memperdalam hubungan dengan berbagai kegiatan timbal-balik yang kreatif dan berfaedah bagi kedua bangsa yang serumpun ini. Sikap ini membuat kita juga sadar, bahwa seni tidak hanya untuk menciptakan keindahan, tapi juga memperbaiki makna kehidupan; diantaranya makna kebahagiaan yang dibangun dari saling pengertian yang baik.
A.D.Pirous Bandung, 20 Januari 2014
(Dipetik dari katalog pameran solo Juhari Said,Hewan,November 2013,Galeri Soemardja,Institut Teknologi Bandung,Indonesia.)
Comments