oleh SETIAWAN SABANA
Pengantar
Dalam kiprah saya sebagai pelaku seni sejak 1970-an tidak banyak seniman Malaysia yang saya kenal baik secara nama apalagi langsung. Perhatian pelaku seni rupa modern di negara berkembang masa itu masih menyimak perkembangan di Eropa dan Amerika Serikat. Eropa-Amerika menjadi kiblat seni rupa modern dunia masa itu, sehingga perkembangan seni rupa modern negeri tetangga kurang diperhatikan.
Seniman Malaysia pertama yang saya kenal adalah Raja Azhar.Kami bertemu dan berteman karena sama-sama menuntut ilmu seni rupa di Victorian College of the Arts pada awal tahun 1979. Orang Malaysia kedua adalah Rahime Harun yang berjumpa di Fukuoka Jepang ketika berlangsung Asian Modern Art Festival 1980 di sana. Ia mewakili Malaysia dan saya mewakili Indonesia dalam acara penutupan pameran akbar tersebut. Sepuluh tahun kemudian, pada awal 1990-an, saya dipertemukan dengan dengan Juhari Said. Pergaulan dengan seniman-seniman negeri tetangga meningkat, setelah seksi kebudayaan ASEAN bergerak aktif pada akhir dekade 1990-an.
Sejak itu kian bertambah kenalan, pengetahuan dan pemahaman tentang bukan hanya Malaysia tetapi kawasan Asia Tenggara. Sekarang para seniman di kawasan serumpun ini kian banyak dan kerap beraktifitas bersama dalam berbagai bentuknya: pameran, seminar, workshop, pendidikan, dan sebagainya. Dalam perkembangan teknolologi informasi dan komunikasi baru, kemudahan transportasi, serta spirit forum kebersamaan Asia Tenggara (AFTA: Southeast Asia Free Trade Association), maka kegiatan lintas sektoral, diperkirakan akan bertambah mudah, cepat, semarak dan dinamis. Kawasan Asia Tenggara akan menjadi area kiprah bersama para warganya dalam segala bidang, termasuk kesenian.
Sesama Pegrafis
Juhari dan saya berteman baik, utamanya dimulai karena kami sama-sama menekuni seni grafis (printmaking), kami merasa bersama dalam satu perjuangan memperkenalkan seni grafis kepada masyarakat luas, dia di Malaysia, saya di Indonesia. Ia bekerja dalam medium cukilan kayu (woodcut), saya dalam etsa (intaglio). Setiap terjadi pertemuan, yang menjadi topik perbincangan kami banyak terkait seni grafis, mulai dari hal-hal teknis hingga persoalan wacananya. Dari berbagai pertemuan, pertemanan menjadi persahabatan, dan dari persahabatan menjadi persaudaraan. Kini kami cukup kerap dan akrab berjumpa dalam berbagai peristiwa seni baik di Malaysia, Indonesia, dan bahkan dalam peristiwa seni rupa di luar negeri. Karena itu, intensitas pertemuan acapkali melahirkan gagasan-gagasan menarik, antara lain kegiatan berpameran.
Belum lama ini saya berpameran tunggal di Muzium Seni Asia ,Universiti Malaya atas pertimbangan kuratorial Juhari Said. Sebaliknya peristiwa pameran seni grafis Juhari Said “Hewan” di Galeri Soemardja FSRD ITB sekarang merupakan pertimbangan saya bersama Kepala Galeri Soemardja, saudara Aminudin TH Siregar. Hal ini menandai persahabatan kami mengental dan membawanya ke arah kegiatan yang diharapkan bermanfaat, bukan hanya bagi kami berdua, tetapi bagi lingkup atau konteks yang lebih luas.
Juhari Said: Pegrafis Sejati
Juhari jelas seorang seniman (pegrafis) yang berdedikasi dan profesional (independent artist). Sementara kebanyakan seniman cenderung mencari kerja yang tetap agar menerima gaji tetap, Juhari memilih untuk mengambil resiko dan berjuang menjadi seniman bebas, tidak terikat oleh lembaga apapun, kecuali dirinya. Ia harus berjuang menghidupi keluarga dan karirnya sebagai kepala keluarga dan seniman sekaligus. Langkahnya, ia membangun sebuah studio seni grafis (cukilan kayu/relief print) berdekatan dengan rumahnya,dan berkarya dengan tekun di sana. Dari situ lahirlah karya-karya mulai dari cukilan kayu hingga seni instalasi, yang kemudian diperkenalkan dalam ruang-ruang pameran hampir di seluruh pusat seni di Malaysia, bahkan di luar negeri. Dalam perhelatan seni rupa di Malaysia tidak ada orang yang tidak mengenal sosok Juhari Said.
Karya Juhari terfokus pada medium cukilan kayu dengan tema seputar alam dan kebudayaan Melayu, mulai dari lingkungan fisik (alam seputar), kejadian harian atau kehidupan sekitarnya, hingga renungan tentang nilai-nilai kemanusiaan dalam perspektif spiritualitas. Berikut adalah sejumlah judul yang menyertai karya-karyanya seperti tercatat dalam monografi Juhari Said “Akal di Mata Pisau” (2003). “Garden of Wood”( 1987), “Secorak Baju Kurung” (1991), “Borak Kedai Kopi Sayalah Hero” (1996), “Kilimanjaro in Nagasaki” (1995), “Direction” (1995), “Bila Telunjuk Menuding, Tiga Jari Menuding ke Arah Kita” (1997), “Seperti Katak Puru di Bawah Tempurung” (1996), , “Cakap Siang Pandang-Pandang, Cakap Malam Dengar-Dengar” (1997), “Penyapu Diikat Sutera” (1997), “Katak Hendak Jadi Lembu” (1997), “Lain Padang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya” (1997), “Gunting Dalam Lipatan” (1997), “Berunding Dengan Tunggul” (1998), “Pecah Buyung Labu Pun Ada” (1998),“Dianjak Layu, Dianggur Mati” (2002), “Pesan Ibu” (2002), dan lain-lain. Karya-karya 1990-an awal banyak tampil dalam cukilan kayu dengan garapan teknik yang tradisional, apik, dan cenderung dalam nada hitam putih. Kemudian pada pertengahan 1990-an karya cukilan kayu Juhari mulai menampakkan kebebasan secara teknis, antara lain menggunakan kertas yang lebih bervariasi, warna yang bertambah, dan bahkan keberanian menghadirkan objek temuan (found objects) yang dilekatkan pada karya-karya cukilan kayunya. Secara tematik, Juhari lebih mengutarakan hal-hal sosial dalam ungkapan metaforik secara bahasa maupun objek gambarnya (subjectmatter). Pada masa akhir 1990-an dan awal 2000-an hingga kini seni Juhari Said kian longgar dalam garapan media dan temanya.
Kreatifitas Seni Seorang “Petani”
Kerja seni Juhari masih konsisten dengan papan kayu sejak dulu hingga sekarang.Berbagai jenis pisau cukilan masih tetap menjadi andalan peralatan teknisnya baik pada cukilan kayu, hingga perkembangan terakhirnya menggarap apa yang digagas sebagai “3D prints”. Karya berlabel “3D prints” ini cenderung berupa objek tiga dimensi, mirip karya patung, yang bahan utamanya adalah bongkahan kayu yang diukir dengan cara dicukil seperti pada cukilan kayu, dan diwarnai dengan teknik pewarnaan pada proses cukilan kayu. Pada permukaan objek kayu tersebut tampak ada komposisi tekstur kayu, bidang dan garis serta warna olahan Juhari, yang mengingatkan pada karya-karya cukilan kayunya selama ini. Karena itu, kreatifitas karya 3D itu diberi istilah 3D Prints, semacam apresiasi terhadap jenis karya baru yang berhutang budi pada proses cukilan kayu. Hingga saat sekarang, Juhari masih tetap membuat cukilan kayu (woodcuts) dengan ukuran besar, tetapi juga longgar terhadap kemungkinan-kemungkinan lain dalam skala dan konteks medium kayu. Ia bukan lagi seorang pengikut (follower) tetapi seorang kreator (motivator, inisiator, dan inovator). Konvensi baru terlahir dari pengalaman diri melihat ke luar (eksternal) dan ke dalam dirinya (internal), berpangkal dari sikap kritis dan renungan mendalam tentang peristiwa kehidupan (eksternalitas) yang meluruh dengan kehidupan diri (internalitas) dan dalam konteks lingkungan terdekatnya: keluarga,lingkungan sosial budaya sekitar kampung di mana mereka tinggal, kampung Akaldiulu. Dalam lingkungan tersebut termasuk dunia hewan seperti ayam, bebek, angsa, kambing, anjing, burung, ikan, dan lain-lain.
Keseharian Juhari Said bukan macam keseharian seniman kota, tetapi seniman pedesaan, yang responsif dan kreatif terhadap lingkungan desa dan alamnya. Ia lebih senang dipanggil petani ketimbang seniman. Saya menggelarinya sebagai “seniman-petani” atau “petani-seniman”. Berkali-kali ia sampaikan kepada saya, bahwa dirinya merasa bahagia dengan kehidupannya seperti itu. Ia sering bercerita bahwa ia banyak belajar dari lingkungan alam, kehidupan sosial dalam lingkungan kampungnya, dan bahkan dengan kehidupan hewan-hewan di sekitarnya. Ia merasa berada dalam kehidupan yang utuh, menyeluruh dan meluruh dengan irama dan “naluri” alam semesta. Dari kehidupan itu ia kian menghayati dan merasakan kehadiran dimensi illahiah Sang Pencipta. Alam bagi Juhari Said adalah sumber inspirasi yang melahirkan karya-karya seni dan renungan hidupnya.
Makna “Hewan” bagi Juhari Said
Pameran tunggal Juhari Said di Galeri Soemardja ini mengusung judul “Hewan”. Dalam tafsiran saya, topik ini bernada langsung dan simbolik sekaligus. Juhari Said memang hidup bersama sejumlah hewan peliharaan, mulai dari ikan, ayam, bebek, kambing, burung, anjing, dan beberapa lainnya. Setiap hari ia disibukkan dengan kehidupan mereka yang mempunyai sifat dan cara dan pola hidup masing-masing sesuai dengan fitrahnya sebagai hewan-hewan tadi. Setiap hewan memiliki kelebihannya tersendiri. Mereka bergaul satu sama lain dalam kebersamaan dan perbedaannya. Ketika mereka kian akrab dengan kehidupan manusia, mereka seakan merasakan kesepahaman dengan hal-hal yang dikerjakan dan diharapkan manusia sekitar, termasuk keluarga Juhari. Dari interaksi dua dunia itu, keduanya saling mendapatkan keuntungan satu sama lain. Juhari mampu menghayati dunia mereka, dan sebailknya. Maka yang terjadi adalah harmoni antar keduanya, manusia dengan sang hewan. Menurut Juhari, ada pesan simbolik yang terbaca pada kehidupan hewan dalam hubungannya dengan manusia.
Keberadaan satu sama lain dalam alam semesta bukan sekedar peristiwa kebetulan (coincidence), tetapi ada pesan spiritual di dalamnya, yakni hewan dan manusia adalah sama-sama makhluk ciptaan-Nya dan dalam tugas dan perannyamasing-masing dalam kehidupan di muka bumi ini. Keberadaan makhluk-makhluk dalam pentas kehidupan adalah suatu sinergi dan daya tersistem (ekosistem) yang penuh makna, bukan hanya pada tatanan simbolisme mikro, tetapi makro, bahkan metasimbolik.
Sebilah kayu, pisau cukilan, rasa seni, dan alam Melayu menjadi penghantar maha penting bagi Juhari Said dalam memahami pentas kehidupan diri, keluarga, sosial, budaya,dan spiritualnya.
Setiawan Sabana
Bandung, Oktober 2013
(Dipetik dari katalog pameran solo Juhari Said, Hewan, November 2013, Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, Indonesia.)
Comments